PERU

Terdengar suara hiruk pikuk suara penonton stadion. Laga antar dua klub besar bertanding bagai hidup mati untuk meraih juara paling bergengsi di negeri ini. Tak hanya para pemain yang menari di tengah lapangan persaingan juga tampak di tribun penonton, para penonton saling mengadu yel yel terbaik mereka. Sangat seru jika diliat tapi keseruan itu tak bertahan lama.

….

AWAL

(Cerita berganti di kantor media ternama di ibu kota)

Aku yang sedang fokus di depan laptop tiba tiba dipanggil atasan untuk menghadap ke ruang atasan.

“Maul, dipanggil bos tuh” kata Syifa.

Aku sedikit kaget dan langsung meninggalkan laptop dalam keadaan hidup pergi menemui si bos.

Melewati beberapa ruangan arsip sampailah aku di ruangan atasan sebelum nya aku bertanya ke Bu Yeni, sekertaris bos.

“Bu apakah pak Budi ada di ruangan?” Tanya ku

“Beliau di ruang olahraga mas coba langsung kesana pesan pak Budi tadi” jawab Bu Yeni

“Siap Bu” aku langsung meninggalkan meja kerja Bu Yeni menuju ruang olahraga lanta 3.

Menaiki lift bersama tiga orang karyawan lainya, aku kenal mereka karena dulu kita pernah satu liputan bersama dalam satu acara di luar negeri.

“Eh dipanggil si bos juga kalian” jawab Zaidan

“Iya nih, padahal tugas liputan ku masih banyak di meja tadi” sahut Hasan

“Em.. kira kira si bos kenapa ya?” Tanya ku

“Naik gaji mungkin” jawab Zaidan bercanda.

Kita bertiga pun tertawa seperti hal itu mustahil.

Pintu lift pun terbuka, kami pun langsung ke ruang olahraga yang tak jauh dari pintu lift itu.

Membuka pintu kaca yang lumayan besar dari pintu ruangan kaca di sekitar nya.

Di ruangan telah menunggu pak Budi bersama pemegang saham perusahaan ini dan beberapa staf khusus bagian liputan olahraga. Kamu bertiga langsung menempatkan diri untuk duduk bersama mereka.

“aku tau arah pembahasan kali ini, jika disini ada pemegang saham dan staf mereka, pasti ini tak jauh dari kata bisnis” batinku

Pak Budi pun membenarkan cara duduk nya dan langsung mengetuk tiga kali pena nya ke meja menandakan rapat segera dimulai. “Baiklah, mungkin langsung saja saudara Maulana, saudara Zaidan dan saudara Hasan kalian bertiga merupakan salah satu tim yang dapat dibanggakan dalam perusahaan ini, pencapaian yang gemilang saat meliput kejadian di timur tengah tahun lalu bisa menaikkan harga saham kita yang melonjak tajam dari tahun tahun sebelumnya.”

Kami bertiga hanya duduk diam mengiyakan pujian tersebut.

“Baiklah langsung saja, kalian bertiga akan menjadi satu tim yang sama seperti saat kalian bertugas di timur tengah tahun lalu, kali ini kalian tak akan bertugas di tengah pertempuran atau aksi aksi yang berbahaya, kalian hanya akan meliput acara yang sangat digemari masyarakat negeri ini, Yap betul sepak bola” jelas pak Budi

“Sepak bola pak?” Tanya Hasan

“Iya, kalian akan bertugas keluar kota dalam tiga hari semua kebutuhan kalian selama bertugas akan ditanggung oleh perusahaan, jika di liputan kali ini sukses akan saya naikan gaji kalian”

Kami bertiga kaget tak percaya bos memberikan kenaikan gaji itu seperti rakyat Polandia akan bebas dari cengkraman tentara nazii di masa lalu.

Dengan berita itu kami bertiga langsung menyetujui tugas dari pak Budi. Setelah membahas hal teknis tugas bersama staf olahraga kami pun pamit undur diri dari ruangan itu dan pergi ke meja kerja masing masing menyiapkan liputan esok hari, seperti halnya liburan di tengah tumpukan tugas tetapi ini liburan yang berbeda.

….

Pulang

Aku pulang pukul lima sore hari ini, bagiku masih cukup pagi untuk pulang dan memeluk putri ku, Diana. Aku membuka pintu rumah setelah mengetuk beberapa kali terdengar suara wanita dengan nafas terburu buru segera membuka pintu, mungkin dikira nya tamu atau teman yang biasa mampir dijam segini.

“Mas udah pulang?” Tanya istriku keheranan

“Udah mah” jawab ku sembari melepaskan jaket dan sepatu

Tiba tiba terdengar suara kecil dari balik tembok ruang tamu  “Ayahhhhhh” panggil Diana Putri kecil ku.

Diana langsung memeluk ku senang  tapi juga curiga apakah ini benar-benar ayahnya atau alien yang sedang menyamar. Aku pun tertawa disusul senyuman laura yang  bahagia melihat keluarga kecilnya.

Setelah tawa yang bahagia itu aku pun langsung menuju kamar meninggalkan diana bermain di ruang tengah sembari melihat acara kesukaan nya di TV, Diana yang  menari sambil menyanyikan lagu di tv itu merupakan hiburan tersendiri bagi Laura yang juga menemani Diana bermain sembari memasak di dapur.

Selepas berganti pakaian dan mandi aku menuju ruang tengah, ingin melihat Diana bernyanyi apakah suara nya tak kalah indah seperti ibunya sewaktu masih muda dulu.

Diana tampak senang melihat ayahnya pulang se awal ini, setelah aku duduk Laura membawakan makanan untukku tampaknya dia tau kalau aku tak makan siang tadi.

Aku tersenyum ke Laura

Laura pun bertanya ” kenapa mas kok pulang jam segini?”

“Nanti setelah Maghrib mas kasih tau dek” jawab ku sembari mengambil piring dari tangan Laura.

Adzan magrib pun berkumandang menandakan petang telah tiba.

Setelah menemani Diana tidur Laura menemuiku di ruang tengah.

“Diana udah tidur ?” Tanya ku

“Udah” jawab Laura sembari membawakan teh dari dapur

“Makasih mah”

“Mas kamu tadi belum ngasih tau alasan kamu pulang awal kan?” Tanya Laura

Aku pun membenahi cara duduk ku “jadi gini, aku tu ditugasi bos buat pergi ke luar kota selama tiga hari buat ngeliput final liga pertama sama si Zaidan dan Hasan”

Laura pun mendekati ku ” jadi aku ditinggal nih?”

“Maaf ya sayang harus aku tinggal aku janji besuk kalau aku dah pulang aku ajak kamu sama Diana jalan jalan ke rumah kamu di Jogja” kata ku

“Beneran” Laura terkejut, sudah lama ia tak pulang kampung dihitung sejak Diana masuk kelas satu tahun lalu.

Aku mengangguk “insyaallah”

“Makasih mas “Laura pun memeluk ku

Laura Dewi Larasati atau Laura sapaan ku selama pacaran dengannya selama masa kuliah di Jogja. Aku bertemu dengan laura saat dia masih duduk di bangku kuliah dia berbeda dari teman perempuan ku yang aku temui dia wanita kuat, wanita yang memiliki pendirian, dan wanita mandiri tercatat telah aktif menjadi aktivis di kampus maupun di luar kampus. Pertemuan ku dengan nya cukup membuat aku senyum senyum sendiri entah karena kagum atau malu. Disaat bersama dia aku merasa bersama dengan sahabat ku sendiri sahabat yang melengkapi diriku dan itu membuat aku memilih dia sebagai pasangan ku.

….

PERGI

Jam kamar menunjukan pukul lima dini hari. Suara telepon membangunkan ku dari hangat nya selimut, itu suara Zaidan.

“Mul jangan kita dapet kereta jam sepuluh, nanti berangkat dari rumah ku aja biar ga nambah uang parkir di stasiun.” Kata Zaidan di seberang.

“Ya” jawab ku singkat

“Yaudah nanti kabar kabar lagi aja” Zaidan menutup telpon

Aku pun bangun mengambil handuk menuju kamar mandi yang letak nya dekat dengan dapur, di dapur terlihat Laura yang sibuk menyiapkan sarapan untuk Diana sekolah nanti.

Aku membuka pintu kamar mandi melepas pakaian dan menghidupkan shower.

Setelah mandi aku membuka pintu kamar mandi melewati dapur yang masih saja Laura sibuk disana. Menuju kamar berganti pakaian setelah itu pergi ke kamar Diana. Diana tertidur pulas

“Sayang, yok sekolah yok” kata ku

Diana masih belum mau membuka matanya

“Diana Diana ayo bangun kalau Ndak bangun digigit ayahh” kata ku sembari menggelitiki perut anak 6 tahun itu

Dia pun bangun dengan ciri khas tawanya. aku membawa disana bersiap siap sekolah, makan bersama di meja makan dan pamit jika nanti ayah mau pergi jauh. Diana tampak tak menangis dia hanya berkata “hati hati ayah nanti kalau udah pulang Diana kasih banyak oleh oleh yaa” katanya dia pun pergi sekolah sendiri, meninggalkan aku dan Laura yang juga sedang bersiap siap mengantarku ke rumah Zaidan pukul tujuh nanti. “Masih kurang apa lagi yah?” Kata Laura

“Kayaknya udah cukup” kata ku melihat satu koper yang berisi pakaian dan alat alat kerja.

Aku memanaskan mobil di halaman rumah setelah itu membawa koper tadi ke bagasi, Laura pun sudah siap mengantarku dia tak berdan dan kali ini buat apa juga dia berdan dan.

Aku menjalankan mobil meninggalkan halaman rumah ku, mobil Avanza keluaran lima tahun lalu itu masih mulus mengebut di jalanan ibu kota.

“Mas kamu sekarang udah ga laku ya di bagian berita politik luar negeri? Kok sekarang malah disuruh ngeliput berita dalam negeri bahkan ini tak ada sangkut paut nya sama tema liputan mu sebelum sebelumnya?” Tanya Laura

“Emm mungkin ga dek ini tu masih ada sangkut pautnya sama kasus politik di negeri ini” kata ku sambil menyetir mobil melihat jalanan ibu kota yang ramai lancar.

“Maksudnya mas?” Laura bertanya

“Jadi gini, semenjak pemilu tiga tahun lalu pesaing antar politikus dalam menduduki tahta presiden di negeri ini meningkat cukup drastis dan itu diperkirakan juga sama di pemilu selanjutnya”  kata ku

Laura menyimak menatap jalan sesekali melihat aku mengemudi

“Jadi para politikus ini mulai merambat di dunia hiburan salah satunya sepak bola yang sangat digemari masyarakat, apalagi suporter sepak bola kita itu sangat fanatik kepada klub kebanggaan mereka, Nah fanatisme yang ada di dalam suporter sepak bola ini lah yang dijadikan senjata yang cukup mutakhir untuk para politikus” jelas ku

Laura terdiam sejenak memasang wajah cemas

“Kenapa?” Tanya ku

“Engga cuma aku khawatir aja jika sepak bola itu jadi mainan para politikus demi nafsu mereka, apakah kejadian kelam waktu dia menonton bola di stadion dahulu akan terulang kembali ?” Laura cemas

“Masa depan itu jauh sayang aku ga tau hanya yang diatas lah yang maha tau segalanya”

Tak terasa mobil ku sampai di depan stasiun, kami berdua pun keluar. Laura menemani ku sampai pintu keberangkatan mengucapkan selamat tinggal dan mengayunkan tangannya seakan memberi tahu ia akan rindu. Aku pun bertemu Zaidan dan Hasan, aku tak jadi mampir kerumah Zaidan karena tau pasti aku akan terlambat jika harus mampir ke rumahnya. Untungnya teman teman ku sudah mempunyai segudang pengalaman jadi tak ada masalah di antara kita, hanya doa yang tiba tiba tersangkut di benak ku ” Ya tuhan ijin kan aku pulang bertemu Laura dan Diana aku tak kuat jika aku harus jauh dari mereka berdua” doa ku

Suasana stadion makin rusuh aku pun mencoba mengambil gambar melihat lebih detail setiap hal yang terjadi di dalamnya, hal yang sungguh mengerikan bahkan jauh lebih mengerikan ditimbang cerita yang pernah diceritakan oleh Laura dulu. Tragedi yang menewaskan banyak orang. Bahkan sampai ada sindiran keras dari masyarakat, yang isinya “tidak ada permainan sepak bola yang seharga nyawa manusia”

(Cerita berlanjut dengan judul “mencari sang ayah”)