Penutupan TPA Piyungan dan Lunturnya Nilai Luhur “Hamemayu Hayuning Bawono” di Dalam Masyarakat Yogyakarta

Sumber Gambar: Twitter @arieframadhan_b

Penulis: Angger Karunia Hasan (XII IIK)

Pendahuluan

Berbagai macam kajian menunjukkan bahwa bangsa yang dianggap maju ialah bangsa yang memiliki karakter kuat. Nilai karakter tersebut dapat kita jumpai dari khazanah budaya yang berjalan lurus dengan karakteristik masyarakat setempat. Berbagai negara maju seperti jepang dengan semangat Bushido yang mereka gali dari nenek moyang mereka sendiri (kaum samurai) (Wagiran,2012:329). China dengan confusianisme, dan Korea yang disegani di wilayah Asia, berkat keberhasilannya dalam menggali nilai luhur yang tercermin dalam semangat semaul undong. Yogyakarta juga mempunyai ajaran luhur yang dianut oleh masyarakatnya yakni “Hamemayu Hayuning Bawono”.

Hamemayu Hayuning Bawono merupakan salah satu falsafah di dalam masyarakat Jawa yang menggabungkan tiga kata: “Hamemayu” (menjaga), “Hayuning” (kelestarian), dan “Bawono” (dunia). Secara keseluruhan, istilah ini mengacu pada tindakan mendalam dan reflektif untuk mempertimbangkan kebaikan dan kesejahteraan dunia secara holistik. Ini berarti mempertimbangkan dampaknya terhadap seluruh lingkungan dan komunitas. Konsep ini sebenarnya memiliki arti yang universal tetapi kalau kita telaah dalam menjaga lingkungan, masyarakat bisa belajar memilah sampah, mendaur ulang, dan mengelola sampah dengan bijak untuk menjaga kebaikan dunia.

Pada 23 Juli hingga 5 September 2023 , Pemerintah Daerah (Pemda) D.I.Yogyakarta melakukan penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Piyungan akibat overload atau kelebihan muatan sampah. Belum lagi pasca penutupan berbagai informasi negatif tentang masalah sampah di Yogyakarta banyak bermunculan. Seolah-olah muncul kesan degradasi sebagai daerah Istimewa. Padahal menurut penulis, masyarakat Yogyakarta sangat patuh terhadap keraton dan ajaran-ajaran yang menjadi pedoman masyarakat Yogyakarta salah satunya adalah Hamemayu Hayuning Bawono.

Permasalahan sampah di Yogyakarta  seolah-olah menjadi evidence bahwa ajaran Hamemayu Hayuning Bawono tidak lagi menjadi pedoman bagi masyarakat di Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis bermaksud menghidupkan kembali ajaran tersebut yang diintegrasikan ajaran Hamemayu Hayuning Bawono pada penanganan permasalahan sampah. Agar pembahasan dalam tulisan ini lebih fokus dan terarah, maka penulis membatasi yang diwujudkan dalam pertanyaan sebagai beriku :

  1. Apa itu konsep Hamemayu Hayuning Bawono?
  2. Bagaimana ajaran Hamemayu Hayuning Bawono dapat diintegrasikan dalam upaya pengurangan sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pembahasan

Melalui nilai kearifan masyarakat Jawa kemudian dituangkan dalam sebuah konsep dasar, manusia berhubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar. Mengenai manusia dan alam menyatakan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk berbuat kebaikan dan melanjutkan keindahan dunia yang telah ada dengan cara tidak merusak dan mengotori kehidupan sehingga dapat mencapai kehidupan yang tenteram dan harmoni (Khoirul, 2021: 197). Falsafah Hamemayu Hayuning Bawono yang menjadi salah satu pegangan hidup masyarakat Jawa menunjukkan bahwa manusia dalam interaksi antara alam dan manusia lain hendaknya bersikap arif, tidak merusak, dan memelihara apa yang telah alam sediakan (Endraswara,2013).

Pengelolaan Sampah di Yogyakarta

Pengelolaan sampah Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) sebagian besar ditangani oleh pemerintahan secara sentralisasi. Pengelolaan tersebut mulai dari pengangkatan pengumpulan dari sumber, pengumpulan di TPS, dan pengangkutan ke TPA (Surahma dkk. 2014:405). Sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul dikirim menuju ke TPA Piyungan yang terletak di kabupaten Bantul. Namun justru Bantul sendiri memberikan kontribusi sampah paling rendah dibanding dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman (Surahma dkk. 2014: 405). Hal itu disebabkan sebagian besar wilayah kabupaten Bantul masih berupa perdesaan dan setiap rumah masih mengelola sampah mereka masing-masing.

Tradisi Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Memilah Sampah

Yogyakarta memiliki tradisi dalam mengelola sampah sebut saja kebiasaan masyarakat yang membuang sampah di Luwangan. Pengelolaan sampah menggunakan luwangan perlu memiliki lahan yang luas seperti yang terjadi di Kabupaten Bantul, yang secara geografis masih berupa perdesaan dengan jumlah lahan yang masih luas. Berbeda dengan masyarakat kota yang tidak memiliki lahan luas, untuk masalah sampah masyarakat kota lebih bergantung kepada pemerintah.

Menurut Surahma dkk. (2014:405) cakupan pelayanan terbaik ada di Kota Yogyakarta yaitu dapat melayani 90% daerah begitu pula Yogyakarta menempati urutan pertama dalam mengirim sampah ke TPA Piyungan disusul Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Semenjak ditutupnya TPA Piyungan masyarakat yang sudah bergantung kepada pemerintah dalam pengelolaan sampah akhirnya bingung. Terjadilah “Yogyakarta Darurat Sampah” banyak sampah yang tertumpuk di depan depo sampah yang sudah tutup sementara dan tentu ini merusak pemandangan dan menyebabkan banyak penyakit.

Integrasi Nilai-Nilai Hamemayu Hayuning Bawono Dalam Upaya

Integrasi nilai-nilai “Hamemayu Hayuning Bawono” dalam pengelolaan sampah bisa memiliki dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat. Berikut beberapa cara di mana nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam pengelolaan sampah:

1. Kerja sama dalam Pengelolaan Sampah: Nilai kerja sama yang dianut dalam “Hamemayu Hayuning Bawono” dapat diaplikasikan dalam pengelolaan sampah dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Kerja sama ini bisa mencakup program-program pembersihan lingkungan, kampanye sadar lingkungan, serta kerja sama antara pihak-pihak terkait dalam pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang sampah.

2. Keseimbangan Antara Manusia dan Lingkungan: Konsep “Hayuning Bawono” mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Dalam pengelolaan sampah, ini dapat diartikan sebagai menjaga ekosistem alami dari dampak negatif sampah. Ini bisa dilakukan melalui edukasi tentang dampak sampah terhadap lingkungan serta penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam pengelolaan sampah.

3. Pengurangan, Pemanfaatan, dan Daur Ulang: Prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono” mendorong untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dalam pengelolaan sampah, ini bisa diaplikasikan dengan mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan melalui gaya hidup berkelanjutan. Pemanfaatan kembali dan daur ulang sampah juga mengurangi beban lingkungan dan dapat menciptakan peluang ekonomi.

4. Penghormatan terhadap Alam dan Lingkungan: Prinsip ini mendorong penghargaan terhadap alam dan lingkungan. Dalam pengelolaan sampah, ini bisa diterapkan dengan menjaga kebersihan lingkungan sekitar, menghindari pembuangan sampah sembarangan, serta mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pelestarian alam.

5. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: “Hamemayu Hayuning Bawono” mengajarkan nilai edukasi dan kesadaran. Dalam konteks pengelolaan sampah, ini dapat diwujudkan melalui kampanye pendidikan dan sosialisasi mengenai cara yang benar dalam mengelola sampah, mulai dari pemilahan hingga pengolahan.

Integrasi nilai-nilai “Hamemayu Hayuning Bawono” dalam pengelolaan sampah dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Dengan melibatkan semua pihak dan menghormati prinsip-prinsip ini, pengelolaan sampah dapat menjadi lebih efektif dan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.