Saling Tukar Pendapat: MAN 1 Bantul Buka Diskusi Sholat Jumat di Madrasah.

Bantul (MAN 1 Bantul) — Saling tukar pendapat antar Guru PAI MAN 1 Bantul dan para guru lainnya yang ikut serta dalam diskusi rencana pelaksanaan Jum’atan di MAN 1 Bantul tampak serius. Diskusi yang diinisiasi oleh Kepala MAN 1 Bantul, Hj. Mafrudah, S.Ag., M.Pd.I melalui zoom meeting Masaba tersebut (14/8/2025) berlangsung seru dan penuh semangat.

“Berawal dari kesadaran bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa hukum salat Jumat di Madrasah tidaklah tunggal. Mayoritas ulama, terutama dari mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Indonesia, sangat menekankan syarat 40 jamaah yang mustauthin. Namun, di satu sisi ada pula ulama yang memberikan kemudahan (rukhshah) dengan berargumen bahwa salat Jumat di madrasah sah jika memenuhi syarat minimal jamaah yang lebih sedikit dan dilakukan karena ada kebutuhan (hajat). Untuk itu, kami beriniasi berdiskusi dengan para guru dengan mendatangkan nara sumber tokoh agama sekaligus intelektual muslim, Dr.KH. Zuhdi Muhdor, Ketua Tanfidziyah PWNU Yogyakarta.” terangnya.

Dr KH Zuhdi Muhdor memberikan penjelasan bahwa pendapat yang membolehkan Salat Jumat di madrasah biasanya berargumen dengan beberapa poin: pertama, syarat minimal jamaah, yang mengikuti mazhab Hanafi, tidak harus 40 orang. Ada yang berpendapat minimal 3 orang (selain imam), bahkan ada yang menyatakan salat Jumat sah dengan 2 orang atau lebih. Pandangan ini juga didukung oleh sebagian ulama kontemporer yang berpegang pada tidak adanya dalil shahih yang secara tegas menyebutkan jumlah minimal 40 orang. Dengan demikian, jika jumlah siswa dan guru yang baligh sudah mencukupi syarat minimal ini, maka salat Jumat di madrasah dianggap sah.

Kedua, tempat pelaksanaan (balad/qaryah): Mazhab Hanafi berpendapat bahwa salat Jumat dapat dilaksanakan di mana saja, bahkan di tempat yang berstatus “mukim” (berdomisili) meskipun bukan penduduk tetap. Madrasah, yang merupakan bagian dari sebuah perkotaan atau pedesaan (balad atau qaryah), dianggap sebagai tempat yang sah untuk mendirikan salat Jumat. Ketiga, hajat dan kemudahan: Sebagian ulama memandang bahwa dalam kondisi tertentu, seperti jauhnya sekolah dari masjid, sulitnya pengawasan terhadap siswa, atau kepadatan lalu lintas, penyelenggaraan salat Jumat di madrasahh termasuk kategori “hajat” (kebutuhan).

Dalam fikih, kebutuhan yang mendesak dapat menjadi alasan untuk membolehkan sesuatu yang secara asal tidak disunahkan.
Guru Kharismatik MAN 1 Bantul, Kyai Maimun, S.Ag., agaknya.masih mempertimbangkan beberapa hal terkait kebolehan sholat jumat di Madrasah dengan berlandaskan mazhab Syafi’I bahwa solat Jumat di MAN 1 Bantul secara ideal masih harus melihat beberapa hal.

Pertama, ada atau tidaknya jamaah yang mustauthin (penduduk tetap). Syarat Mustauthin (penduduk tetap) menurut Syafi’i dan Hanbali, salat Jumat hanya sah jika didirikan oleh orang-orang yang berstatus “mustauthin” (penduduk tetap). Meskipun guru dan siswa mukim (bertempat tinggal) di daerah tersebut, sebagian besar mereka bukan penduduk tetap di lingkungan madrasah itu sendiri. Kedua ada dua jum’atan dalam satu qaryah (dalam satu RT/satuan wilayah terkecil).

Namun beliau juga memberikan alasan keniscayaan dilakukannya Sholat jumat di Madrasah. “Faktor yang memungkinkan untuk dilaksanakan jum’atan di MAN 1 Bantul adalah karena faktor masyaqqah (kesulitan), seperti sulitnya memastikan keamanan siswa.” tandasnya.

Sampai berita ini diturunkan belum ada keputusan, jadi atau tidaknya salat jum’at di MAN 1 Bantul. Setelah diskusi lewat zoom meeting selesai, Kamad MAN 1 Bantl, Hj Mafrudah, S.Ag., M.Pd.I langsung menggelar rapim untuk menindaklanjtinya. “Meskipun diskusi ini belumada titik temu tapi saya bangga dengan pendapat brilian bapak ibu guru. Ini sesuai dengan nilai-nilai yang diusung madrasah, yaitu CADAS BERKELAS (Cerdas, Agamis, Demokratis, Adaptif, Smart, Berkarakter, Cinta Lingkungan, dan Anti Diskriminasi).” selanya. (Chr).