Penulis: Angger Karunia Hasan (XII IIK)
Rabu (19/07/23) dalam rangka memperingati Tahun Baru 1 Sura Jimawal 1957/1 Muharam 1445 H, akan dilaksanakan prosesi Mubeng Beteng, kegiatan ini merupakan Hajad Kawula Dalem yang diinisiasi oleh paguyuban abdi dalem dan masyarakat sebagai bentuk refleksi atau diri menuju manusia yang lebih baik di masa mendatang. Prosesi upacara diawali dengan doa bersama di Kagungan dalem Bangsal Pancaniti (kompleks kemandungan Lor/Kaben) pada pukul 21.00 WIB dengan dilanjutkan tradisi Mubeng beteng.
Tentu kita sebagai masyarakat awam pasti bertanya-tanya, untuk apa upacara ini digelar? Dan tak jarang masyarakat menganggap kegiatan ini masih bersangkut paut dengan kemistikan malam satu suro.
Satu Suro Dalam Pandangan Masyarakat Jawa
Masyarakat merupakan satu kesatuan kehidupan dari makhluk-makhluk manusia yang terikat dengan suatu sistem adat istiadat . Menurut Herusatoto (2003:10) masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang hidup berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai macam dialeknya dan sebagian besar mendiami pulau Jawa. Dalam pola pikir tradisional masyarakat Jawa terdapat keyakinan dan kepercayaan pada bulan, hari, atau tanggal yang mereka anggap suci. Salah satu bulan yang dianggap suci dalam masyarakat Jawa pada umunya adalah bulan satu Muharram atau satu suro. Dalam kalender Jawa bulan suro merupakan bulan pertama di antara 12 bulan. Kalender ini di ciptakan oleh Sultan Agung dengan mengikuti peredaran bulan (Komariyah).
1 Muharram atau 1 suro dalam tanggalan Jawa mengambil peristiwa hijrahnya rasul dan umat Islam dari mekah ke kota Madinah. Selain itu bulan Muharam juga diperingati sebagai wafatnya cucu kesayangan Rasulullah, Husein bin Ali di Karbala pada tahun 81 H/680 M (Anis,2014:55).
Selain dua peristiwa di atas dalam budaya Jawa, malam peringatan tahun baru tersebut sering dianggap sakral. Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa, menjabarkan mengenai sakralitas peringatan Malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dahulu, keraton sering melakukan upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun-temurun.
Hal itu juga dibenarkan oleh Wahyana Giri dalam buku Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010). Menurut dia, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengartikan Malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulannya penuh rahmat. Ketika malam itu, beberapa orang Jawa Islam percaya, mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya. Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki beberapa ritual upacara yang diadakan di malam satu suro, seperti ritual Mubeng Beteng yang di gelar oleh kraton Yogyakarta rabu lalu.
Tradisi Mubeng Beteng
Dilansir dari Tempo,co tradisi Mubeng Beteng merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa Sultan Hamengku Buwono II pada 1919. Persiapan ritual ini dimulai pukul 20.00 dengan serangkaian acara seperti tahlilan, pembagian makanan berkah, tembangan macapat hingga prosesi Mubeng Beteng dilakukan tepat pukul 00.00 WIB.
Sementara menurut penelitian Purwanto (2017:29) Mubeng Beteng adalah tradisi tahunan dengan berbaris dalam keheningan di sekitar benteng Keraton Yogyakarta yang dilakukan sebagai salah satu ritual rutin yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta dan dihadiri oleh warga Yogyakarta. Ritual Mubeng Beteng dilakukan pada saat memasuki awal tahun baru penanggalan Jawa atau biasa disebut 1 Suro.

Sebelum pelaksanaan Mubeng Beteng, dilaksanakan terlebih dahulu pembacaan doa yang berada di Kagungan dalem Bangsal Pancaniti (kompleks kemandungan Lor/Kaben) pada pukul 21.00 WIB dengan dilanjutkan tradisi Mubeng beteng. Dalam tradisi Mubeng Beteng barisan terdepan di isi oleh para abdi dalem yang membawa bendera merah putih dan pusaka atau bendera kebesaran kraton Yogyakarta dengan menggunakan busana Jawa tanpa keris dan alas kaki. Setelahnya ada barisan untuk para abdi dalem dan dilanjut untuk masyarakat umum di barisan belakang.

Mubeng beteng tahun ini terasa istimewa setelah 3 tahun tidak dilaksanakan karena adannya pandemi, dan tahun ini mulai dilaksanakan demi pelestarian budaya. Antusias warga juga tampak jelas di saat pelaksanaan upacara ini. lebih dari 3.000 warga dari berbagai golongan, dari mulai anak muda hingga orang dewasa ikut berpartisipasi Mubeng Beteng tahun ini.
“Jadi, sebenarnya inti utama dari mubeng beteng ini bukan perjalanan mubengnya. Tapi, lebih kepada makna dan nilainya untuk melakukan perenungan kemudian kontemplasi dan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk perjalanan 1 tahun ke depan,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Dian Laksmi Pratiwi,
Dian juga menjelaskan jika ritual ini harus dilestarikan karena makna yang baik dan tradisi ini juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Jadi tradisi mubeng beteng ini juga sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari DIY oleh Kemendikbudristek, jadi aksi-aksi yang memang harus kita lakukan untuk melaporkan bahwa karya budaya ini juga masih tetap lestari itu kita lakukan,” ujar dia.
Pada umumnya upacara atau ritual tradisional mempunyai tujuan untuk menghormati, memuja, mensyukuri dan meminta kepada leluhur dan kepada Tuhannya. Menurut Anis (2014:54) Pada tingkat pertama religi ini berupa adanya makhluk halus dan kekuatan gaib di sekeliling manusia. Dengan demikian dalam menghadapi dunia gaib masyarakat memiliki perasaan takut, hormat dan segan. Agar kekuatan tersebut tetap terjaga keseimbangannya dan tidak menimbulkan gangguan adalah dengan jalan mengadakan berbagai upacara ritual yang bersifat keagamaan di antaranya dengan selamatan yang bertujuan agar selamat, tenang dan damai.